Minggu, 06 Februari 2011

Stabilisasi Kebutuhan Pokok

Dalam beberapa pekan ini media massa di Tanah Air intens melaporkan kesulitan ekonomi yang dialamimasyarakatgolongan ekonomi kecil. Mereka tidak hanya didera harga-harga pangan (beras, gula, terigu,danminyak goreng) yang terus melangit, tapi juga digerusbiaya kesehatan dan pendidikanyang takterjangkau.Harga beras, gula dan minyak goreng pekan ketiga Januari 2010 naik 10-15% ketimbang Oktober lalu.Warga antreberas, guladan minyak goreng dalam operasi pasar jadisesuatu yanglumrah.

Mau tidak mau, mereka harus merealokasi keranjang pengeluaran.Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan.Ini terjadi karena 60-80% pengeluaran keluarga miskin tersedot untuk pangan. Atau, kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi.Jenis pangan inferior (murah dengan kandungan energi-protein rendah) jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok, dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat.

Pemerintah merancang strategi stabilisasi harga kebutuhan pokok. Minyak goreng dangula disubsidi. Sedangkan subsidi terigu dan kedelai -lewat pembebasan PPN-tidak lagi diberikan seperti rentang tahun 2008-2009. Bahkan, untuk menjamin keberhasilan stabilisasiharga pangan pemerintah menambah subsidisebesarRp 8,2 triliun. Tambahan anggaran inidialokasikan untuk pengadaanberas untuk rakyat miskin (raskin), stabilisasi harga minyak goreng,guladanpupuk.Jadi, dalamAPBN-P 2010 total subsidi nonenergi naik dari Rp 51,3 triliunmenjadi Rp 59,5 triliun.Penyaluran raskin juga dipercepat.

Untuk meredam harga, pemerintah menggelaroperasi pasar. Pertanyaannya, bisakah operasi pasar meredam harga? Operasipasaradalah instrumen jangka pendek. Operasi pasar fungsinya tak lebih sebagai tukang pemadam kebakaran. Tujuannya, untuk mempengaruhi harga. Namun, efektivitas operasi pasar dalam mempengaruhi harga tergantung banyak faktor: stok pemerintah, besarnyapanganyang digerojok di pasar, stok yang dikuasai pedagang/spekulan, dan psikologi publik. Oleh karena itu, operasi pasar sebenarnya bukaninstrumen ampuhgunamengatasi instabilitas hargadomestik.

Berbeda dengan di era Orde Baru yang instrumen dan kelembagaannya komplet, sekarang kita tidak memiliki instrumen dan aransemen stabilisasipangandomestik.Dulu,sejumlah komoditas strategis (beras, gula, kedele, minyak goreng dan terigu) distabilisasi melalui Bulog. Kini, Bulog yang mengelola beras. Dalam kondisi demikian, raskin sebagai “benteng pertahanan” akhir perut warga justru dipangkas, baikjumlah rumah tangga sasaran penerima raskin(dari 18,5 juta jadi 17,5 juta) maupun volume beras yang disalurkan(dari 15 kg jadi 13 kg per bulan). Ini terjadikarena pagu subsidi pangan menurun dari Rp 13 triliun pada APBN-P 2009 jadi Rp 11,84 triliun pada APBN 2010.

Agarkerugianbergandainstabilitastak terjadi, opsi stabilisasi harga kebutuhan pokok jadi relevan. Apaarti kebutuhan pokok bagi warga?Paper Edward Miguel, Shanker Satyanath dan Ernest Sergenti, Economic Shocks and Civil Conflict: An Instrumental Variables Approach (Journal of Political Economy, 2004) bisa membantu. Paper itu menganalisis kaitan curah hujan dan perang sipil di 41 negara Afrika antara 1981-999. Hasilnya, penurunan curah hujan di negara-kebanyakan negara agraris-dalam periode tanam tertentu signifikan menurunkan ekonomidalam jangka pendek, dan pada gilirannya menimbulkan perang sipil.Tak ada perbedaan dalam hubungan sebab akibat itu di negara yang lebih kaya, lebih demokratis, atau negara beretnik beragam.

Ini revelan bagi kita: kemampuan sebuah rezim dalam menyediakan penghidupan yang layak bagi warga akan menentukan situasi sosial-politik. Reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi dan peran sektor swasta, warga sipil dan dunia internasional di sisi lain. Tapi sistem ekonomi nyaris tak berubah.Di sisi lain, peran pemerintah kian menciut, diikuti naiknya peran swasta dan warga sipil.Menguatnya daya tawar rakyat vis a vis negara yang lemah mustinya merubah struktur ekonomi dan pemerataan. Logika itu tak terjadi. Kaum kapitalis kian sulit diatur. Sebaliknya, lembaga pengemban pelayanan publik (bulog, sekolah, rumah sakit,PLN, Pertamina) dipreteli tugasnya atau diprivatisasi.

Yang terjadi kemudian, pemerintah kian lumpuh dalam memenuhi kebutuhan pokok. Ketika fungsi kian menciut, peran pemerintah -salah satunya– bisa difokuskan pada stabilisasi harga kebutuhan pokok. Di saat anggaran terbatas, tentu tidak bijaksana meniru Malaysia yang menstabilkan 32 jenis kebutuhan pokok. Pemerintah telah menetapkan empat pangan pokok (beras, guladan minyak goreng) dan minyak tanah sebagai sasaran stabilisasi. Apakah pilihansejumlahkomoditas ini tepat? Agar tidak muspro, perlu pendalaman serius. Pilihan mustinya didasari penting-tidaknya komoditas tersebut bagi konsumen, produsen, dan kaitanya dengan pertumbuhan ekonomi (makro).

Apa pun, stabilisasi harga kebutuhan pokok tidak bisa ditawar-tawar. Stabilisasi tidak hanya menguntungkan produsen dan konsumen. Studi Dawe (1997) membuktikan, stabilisasi berasmisalnyatidak hanya menguntungkan produsen dan konsumen ( microeconomics benefit),tetapi jugamampumendorong pertumbuhan ekonomi, mendongkrak investasi di sektor beras/padi dan sektor-sektorlain yang terkait ( macroeconomics benefit). Bahkan, lebih jauh, stabilisasi juga akan mengerem inflasi, menjungkit pasar kerja, dan meredam keresahan sosial-politik.Sebuah rezim yang ingin langgengdan stabiltentu tidak akan menyia-nyiakan peran pentingstabilitas panganini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar