Minggu, 06 Februari 2011

Mengapa Harga Gula Melambung?

Di pasar domestik, harga gula di tingkat konsumen melonjak dari Rp 6.650 per kilogram (Januari) menjadi Rp 10.000/kg (Agustus) atau naik 50 persen (Kompas, 25/8/2009). Harga ini jauh melampaui harga dasar lelang yang disepakati Rp 5.350/kg. Konsumen dan pengusaha makanan-minuman pun menjerit.

Pemerintah pun segera menggelar rapat koordinasi. Hasilnya, segera digelar operasi pasar gula murah. Caranya, karena tidak memiliki stok gula sendiri, pemerintah ”menginjak kaki” pengusaha agar menjual gula untuk operasi pasar Rp 7.000/kg.

Pemadam kebakaran

Pemerintah juga sedang mempertimbangkan penurunan bea masuk impor dan menambah impor gula rafinasi. Seperti orang gelap mata yang tidak melihat ada celah lain, tiga jurus klasik ini selalu diputar-ulang. Efektifkah?

Sepanjang sejarah pergulaan, operasi pasar gula adalah instrumen jangka pendek. Fungsi operasi tak lebih sebagai pemadam kebakaran. Tujuannya, untuk memengaruhi harga. Namun, efektivitas operasi pasar dalam memengaruhi harga gula tergantung banyak faktor, seperti stok pemerintah, besarnya gula yang digerojok di pasar, stok yang dikuasai pedagang/spekulan, dan psikologi publik. Karena itu, operasi pasar sebenarnya bukan instrumen ampuh untuk mengatasi instabilitas harga dalam negeri.

Berbeda dengan era Orde Baru yang memiliki instrumen dan kelembagaan lengkap. Kini kita tidak memiliki instrumen dan aransemen stabilisasi harga gula domestik. Meski ada SK Menteri Perdagangan No 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yang membatasi impor hanya bisa dilakukan sebulan menjelang dan dua bulan setelah musim giling, harga gula domestik tidak hanya ditentukan hukum penawaran dan permintaan, tetapi juga dipengaruhi harga paritas impor. Logikanya, meski ada tekanan di sisi permintaan menjelang dan selama Ramadhan, harga tak akan melambung tinggi sebab kini sedang musim giling.

Kini harga gula di tingkat internasional cukup tinggi: di atas 550 dollar AS per ton FOB (free on board), tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Ditambah biaya pengapalan dan premium yang cukup mahal, harga akan kian tinggi. Mengingat pasar tidak sepenuhnya terinsulasi, harga gula di pasar dunia segera ditransmisikan ke pasar domestik. Kenaikan harga ini dipicu guncangan di sisi penawaran.

Menurut perkiraan FAO (2009), konsumsi gula dunia pada 2009 tumbuh relatif stabil seperti dekade sebelumnya: sekitar 2,4 persen per tahun. Dengan pertumbuhan ini, konsumsi gula dunia diperkirakan mencapai 162,2 juta ton. Di sisi lain, pada 2009, produksi gula dunia turun (drastis) 5,4 persen. Tahun lalu produksi gula dunia tumbuh 1,0 persen. Penurunan produksi gula dunia itu menciptakan supply shock cukup berat, mendorong kenaikan harga gula.

Ajang spekulasi

India mengalami penurunan produksi paling besar, sekitar 45 persen. Petani tebu India mengalihkan lahannya dan menanami komoditas yang lebih menguntungkan, seperti jagung dan kedelai. Guncangan penawaran kian berat karena sejumlah negara produsen utama gula—Australia, Eropa Barat, Amerika, dan Pakistan—produksinya juga menurun.

Guncangan ini tidak mampu diimbangi peningkatan produksi oleh negara eksportir utama gula dunia, Brasil. Akibatnya, produksi gula global turun tajam 5,4 persen menjadi 158,5 juta ton. Supply shock membuat panik pasar. Dalam kondisi demikian, operasi pasar, penurunan bea masuk, dan penambahan kuota impor tak efektif. Mengapa?

Pertama, stok tidak sepenuhnya dalam kendali pemerintah.

Kedua, kita tidak bisa serta- merta impor. Sebelum liberalisasi pasar atas desakan IMF pada 1998, produksi gula dalam negeri dan impor di tangan Bulog. Kini pasar gula bersifat oligopoli, mudah dikuasai segelintir orang, pintu keluar terbatas, dan mudah jadi ajang spekulasi.

Dugaan gula dikendalikan Delapan Samurai itu nyata dan hanya menguntungkan pedagang/ spekulan, bukan produsen dan konsumen. Contoh, PT Perkebunan Nusantara XI menggelar lelang dua kali sebulan, rata-rata 10.000 ton gula sekali lelang. Pengusaha menyediakan dana talangan Rp 53,5 miliar (Rp 5.350 x 10.000 ton gula). Pekan lalu, rata-rata harga lelang Rp 8.361/kg. Pengusaha berhak 40 persen atas selisih harga talangan dan harga lelang, sisanya bagian petani. Artinya, dalam 15 hari, pengusaha penyedia dana untung Rp 12,046 miliar (22,5 persen).

Kini pemerintah mempunyai dua pilihan: melakukan intervensi harga atau tidak. Jika intervensi, pemerintah bisa menugaskan Bulog menjadi penyedia sebagian dana talangan petani. Sebagian lagi dana talangan diserahkan ke swasta lewat lelang. Dengan cara itu, plus penguasaan gula BUMN, pangsa gula yang dikuasai Bulog untuk buffer stock memadai. Ini bisa menjadi modal Bulog mengendalikan harga.

Jika tidak ada intervensi, pemerintah bisa mengambil kebijakan untuk meringankan beban orang miskin dengan memberi subsidi harga seperti program raskin. Apa pun pilihannya, beleid harus segera diambil. Bukan saatnya membiarkan harga gula seperti layang-layang putus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar