Minggu, 06 Maret 2011

Pajak Nol Persen Bahan Mentah Pembuatan Film

Anggota Komisi X DPR RI Angelina Sondakh mengatakan demi reaktualisasi potensi perfilman nasional pihaknya mendorong Pemerintah menerapkan pajak nol persen bagi bahan baku mentah pembuatan film.

"Itu telah diangkat dan jadi `pointers` kesimpulan kesepakatan dalam Rapat Kerja (Raker) antara Komisi X DPR RI dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar), pekan lalu," ungkap anggota Komisi DPR yang membidangi pendidikan, pariwisata, kebudayaan, pemuda dan olahraga serta perpustakaan, sekaligus mantan Putri Indonesia ini kepada ANTARA, Senin.

Intinya, lanjut Anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD) ini, Raker itu menghasilkan rencana dan langkah-langkah bagi reaktualisasi potensi perfilman nasional yang dapat dimulai dengan dukungan Peraturan Pemerintah (PP) serta berlanjut pada penerapan pajak nol persen.

"Selain itu, membentuk genre film yang bervariasi sesuai segmentasi pasar, mengupayakan pendidikan film melalui pengembangan SDM perfilman yang dididik secara khusus dalam fakultas atau akademi film," kata Angeina Sondakh (AS) yang juga Wakil Sekjen DPP PD.

Kesepakatan berikut, menurut AS, ialah, diberlakukannya subsidi film oleh Pemerintah dan diterbitkannya beasiswa film, pengembangan laboratorium film pada jenjang pendidikan, membatasi peredaran sinetron di televisi dan menggantinya dengan FTV untuk lebih memacu karya film.

"Kami juga bersepakat untuk peduli atas hak cipta film nasional, mengupayakan diangkatnya potensi pariwisata Indonesia dalam film yang dikerjakan melalui kerja sama dengan pihak asing seperti yang pernah terjadi dalam film `Eat Pray Love` yang mengambil syuting di Bali," ujarnya.

Bersamaan dengan itu, demikian AS, RI perlu meningkatkan pengiriman film Indonesia ke festival dan bursa film internasional di luar negeri.

"Lalu yang terpenting juga adalah memastikan kuota film impor, agar peredarannya dapat berimbang dengan film nasional," katanya.

Sejalan dengan ini, AS menuturkan tentang pentingnyapula menurunkan pajak film lokal yang selama ini cukup memberatkan kalangan pengusaha,yakni 10 persen.

"Tetapi kita semua juga harus maksimal berusaha menyehatkan industri perfilman, antara lain dengan menghapus monopoli distributor film yang telah dikuasai oleh grup bioskop 21 dan XXI," tandasnya.

Ini, lanjutnya, harus dilakukan dengan mendorong pengembangan bioskop daerah untuk memperluas ruang publik dalam mengkonsumsi film nasional dan meningkatkan peran pertunjukan film keliling Indonesia (Perfiki) guna mengatasi keterbatasan gedung bioskop maupun layar.

"Bagi saya, reaktualisasi ini harus sesegera mungkin diwujudkan, agar peran dan tujuan perfilman nasional sebagaimana yang telah termaktub dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2009 betul-betul memiliki kesesuaian dengan kondisi yang sebenarnya," tandasnya.

AS optimistik, semua rencana dan langkah reaktualisasi potensi perfilman tersebut pasti mendapat dukungan para pihak dan bisa terus dipandu dalam perjalannanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar