Jumat, 02 Januari 2009

Menyoal Kemiskinan di Surabaya yang Tak Pernah Selesai

Diguyur Dana, Keluarga Miskin Malah Tambah Banyak
Penyelesaian problem kemiskinan menjadi salah satu prioritas Pemkot Surabaya hingga kini. Namun, alih-alih angka kemiskinan berkurang, namun justru bertambah. Padahal, "intervensi" anggaran yang disediakan pemkot dari tahun ke tahun terus naik.

Berdasar data Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas), angka kemiskinan di Surabaya tak kunjung berkurang dalam tiga tahun terakhir. Pada 2005, penduduk miskin di kota ini terdata 111.233 KK (kepala keluarga). Tahun berikutnya naik menjadi 113.129 KK dan tahun lalu menjadi 126.724 KK .

Dalam rapat koordinasi yang diadakan Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) kemarin (4/2), masalah kemiskinan di Surabaya menjadi problem krusial yang harus segera diselesaikan. "Harus dicari apa yang salah. Intervensi pemerintah dari tahun ke tahun semakin tinggi anggarannya, namun jumlah penduduk miskin belum juga berkurang," kata Kapala Bappeko Tri Rismaharini.

Rapat koordinasi itu diikuti Dinas Pendidikan (Dispendik), Bapemas, Komisi D DPRD, staf ahli wali kota, serta pakar dari Universitas Airlangga. Dalam pertemuan itu juga diketahui bahwa 25 persen siswa Surabaya masuk kategori gakin (keluarga miskin).

Menurut Risma, selama ini begitu banyak program bantuan yang diberikan pemerintah untuk mengentas masyarakat miskin. Lembaga yang menangani pun beragam. Namun, program tersebut seolah lebih bersifat amal (charity). "Bantuan yang telah diberikan tetap tidak bisa mengentas kemiskinan secara mendasar," ujarnya.

Karena itu, kata Risma, perlu dicari faktor yang melatarbelakangi mengapa masyarakat sulit dientaskan dari kemiskinan. "Seorang warga miskin yang butuh pendidikan tak bisa disamakan dengan warga miskin yang membutuhkan beras khusus warga miskin (raskin)," katanya.

Karena itu, pemberian bantuan kemiskinan bakal didasarkan pada tingkat kebutuhan masyarakat miskin. Pemkot akan menyusun kriteria kemiskinan secara khusus. Kriteria yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dianggap ada yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Surabaya sekarang. Kriteria yang dipakai pemkot cenderung sesuai dengan kriteria kemiskinan produk Chumbers. Yakni, masyarakat miskin, rentan miskin, tak berdaya, terisolasi, dan punya intensitas sakit tinggi.

"Dengan demikian, bantuan kemiskinan tak harus selalu berkutat pada masalah pangan, tapi harus disesuaikan dengan kebutuhan seseorang," tegasnya.

Banyaknya intervensi bantuan yang diberikan lembaga-lembaga donor atau pemerintah juga membingungkan masyarakat. Misalnya, raskin dan biaya operasional sekolah (BOS). Karena itu, ke depan, hanya ada satu lembaga di bawah masyarakat yang menaungi persoalan kemiskinan. "Lembaga itu di bawah kontrol langsung masyarakat," jelas Risma.

Kelak, kata dia, lembaga tersebut bertugas memantau secara intens perkembangan sasaran gakin. "Kalau dulu seseorang tak bisa makan, terus mendapat bantuan pangan, apakah menginjak tahun berikutnya persoalannya tetap sama. Kalau iya, bisa jadi bantuan yang akan diberikan selanjutnya berupa pelatihan atau permodalan," ungkapnya.

Dengan begitu, kata mantan kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan itu, ada progress dalam program pengentasan kemiskinan. "Kami berharap si miskin tidak terus menjadi miskin," ujar alumnus ITS tersebut.

(koran Jawa pos selasa , 8 feb 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar